Selasa, 08 Januari 2013

Ratna Somantri: Sebarkan Gairah Meneguk Teh

Ratna Somantri: Sebarkan Gairah Meneguk Teh
Senin, 7 Januari 2013 | 09:15 WIB
Dibaca: 1797
|
Share:
Ratna Somantri menggagas Komunitas Pencinta Teh yang mengajak anggotanya icip-icip teh dan jelajah santapan sambil ngeteh.
Artikel Terkait:
  • Sarah Widyanti: Pilot yang Mantan "SPG"
  • Maria Selena Raih Posisi 10 Best National Costume
  • Nicky Astria Enggan Menciptakan "Image" Palsu
  • Livia Yosetya, Bergairah dengan Tantangan
  • Ines Putri, Ingin Meniru Semangat "MU"
KOMPAS.com - Di dalam secawan teh tersimpan cerita. Kisah yang kadang terperangkap di dasar cawan karena tak ada yang mendongengkannya. Ratna Somantri tak lelah bercerita dan menyebarkan gairah meneguk teh itu sebagai sebuah kenikmatan.
Pertemuan dengan Ratna Somantri (35) terwujud di ruang kantornya yang berdinding coklat muda dan bercahaya temaram di kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan. Kulit putih Ratna yang terbalut busana merah muda menyala dan rambut tergerainya seperti menghidupkan ruangan. Di meja, berbagai cangkir dan teko teh tertata apik. Masih ada sekitar 100 set perangkat menyeduh teh lain di kediaman Ratna.

”Saya seduhkan teh, ya? Teh oolong dari kaki Gunung Halimun, Jawa Barat,” ujar Ratna. Jemari lentik berkuteks warna senada dengan busananya itu mulai menari, menggoyang teko di atas nampan kayu berukir. Ratna kemudian membuang air ke nampan dengan wadah penampung di bawahnya. Kata Ratna, bilasan tersebut untuk menyiapkan teko dan teh.

Suara renyahnya mengisi ruangan lagi. ”Kalau menyeduh oolong, airnya jangan terlalu panas,” ujarnya sambil mengisi air lagi ke dalam teko. Seduhan oolong alias ”naga hitam” yang bening keemasan lalu dituang merata ke cangkir-cangkir keramik mungil. ”Silakan,” ujar Ratna.

Teh hangat menyentuh lidah dan ruapan aroma masuk ke hidung. Rasa lembut dan segar bercampur bau bumi menyergap. Menurut Ratna, seduhan pertama itu masih ringan. Teh selalu paling nikmat saat seduhan kedua. Sudah lebih pekat, tetapi belum telanjur pahit.

Seni teh
Bagi Ratna, teh yang berasal dari tanaman keluarga Camellia itu merupakan seni, mulai dari menanam hingga menyeduhnya. Dia bercerita, ada teh yang berasal dari daun teh bekas gigitan wereng hijau hingga kisut dan teroksidasi sebagian. Lainnya, teh yang dicampur melati selapis demi selapis agar aroma bunga merasuk. Teh dari Jepang, seperti gyokuro, bahkan pohonnya ditutupi kain kasa atau tirai bambu sebelum dipanen untuk menghindari sengatan sinar matahari. Hasilnya, teh rasa kaldu yang bermenit-menit tinggal di lidah.

Di negara seperti Jepang, Korea, dan China menyeduh teh ada seninya. ”Di Indonesia, tidak ada ritual khusus menyeduh teh. Sebagian warga keturunan Tionghoa masih mewarisi tradisi minum teh dari leluhurnya. Namun, kita memaknai minum teh sebagai kebersamaan. Seperti teh panas, legit, kentel (nasgitel) di angkringan yang dinikmati sambil nongkrong dengan teman. Saya suka teh, bukan hanya rasanya, melainkan kita bisa melihat kultur,” katanya.

Kelihaian Ratna menarasikan teh membuatnya sibuk didaulat sebagai pembicara alias tea speaker di ajang kuliner, jamuan teh di hotel berbintang, acara bincang-bincang televisi dan radio, atau promosi produk teh. Baru-baru ini, perempuan itu membagikan pula cerita teh lewat buku Kisah dan Khasiat Teh. Teh menyita sebagian hidupnya, selain pekerjaan sebagai konsultan di perusahaan yang didirikan suaminya.

Kata Ratna, butuh perjuangan menaikkan derajat teh di Indonesia lantaran sejarah kolonialisme di belakangnya. Konon, teh-teh terbaik dari perkebunan di Indonesia diangkut ke negeri Belanda untuk minuman ratu, raja, dan bangsawan. Masyarakat Indonesia tak sempat merasakan teh terbaik dan menikmatinya sebagai sebuah seni.

Teh pun dianggap komoditas massal, baik oleh produsen maupun masyarakat, tetapi minus branding alias pencitraan. ”Kebun-kebun teh menerima pesanan dan terkadang tidak terlalu peduli teh itu disebut dari kebun mereka atau tidak. Ada, lho, produk teh luar negeri yang bahan mentahnya sebagian teh Indonesia, tetapi itu tidak disebut dalam kemasannya. Beda dengan teh ceylon yang populer. Padahal, karakternya mirip teh Indonesia, kuat dan pekat,” ujar perempuan yang bekerja sebagai konsultan pemasaran itu.

Petualangan teh
Kesukaan akan teh membawa Ratna dalam petualangan mencobai teh. Dan, dia pun menjalani kursus teh di Kuala Lumpur, Hongkong, Jepang, dan China. Pada 2007, Ratna menggagas Komunitas Pencinta Teh yang mengajak anggotanya icip-icip teh dan jelajah santapan sambil ngeteh. Semula, anggotanya sekitar 60 orang dan kebanyakan penikmat teh serius, pemilik kafe teh, atau produsen teh. Komunitas itu lalu membesar jadi 500 orang.

”Saya senang mulai ada anggota muda. Dulu, perasaan saya paling muda, ha-ha-ha. Generasi muda beranggapan minum teh yang pakai ritual itu ribet dan kuno,” ujarnya.

Ada juga anggota komunitas yang ”teracuni” dan masuk ke bisnis teh. ”Kalau awalnya saya dan anggota di Jakarta yang sering bikin acara, sekarang di daerah lain, seperti Solo, sudah membuat kegiatan sendiri,” katanya.

Ratna tak sulit ”terbius” oleh teh. Dalam tegukan teh, cita rasa berkelindan dengan memori. Begitu menyeduh secangkir teh melati, ingatan Ratna melayang pada sosok ibunya dan masa kecil di Desa Karang Sumbung di Cirebon. ”Ibu saya yang memperkenalkan teh melati,” ujarnya.

Ratna tak jauh dari kultur teh. Ayahnya keturunan Tionghoa, yang terkenal dengan budaya teh, dan ibunya berdarah Sunda, tanah surga teh. Pada masa dewasanya, teh yang bagi Ratna mewakili sifat kalem, sehat, detail, dan gairah itu memberikan keseimbangan di tengah cepatnya lintasan kehidupan. Tahapan ritual meminum teh yang membutuhkan kesabaran itu seolah menghentikan waktu dan laju pikiran kemudian menghadirkan ketenangan.

Pertemuan hari itu ditutup dengan seduhan teh hijau dari Korea. Sekali lagi jarinya menari di atas nampan berukir dan terhidanglah teh di dalam cawan. Baru seteguk teh melewati tenggorokan, Ratna bertanya, ”Aroma apa tehnya? Kalau saya bilang ini aroma kacang-kacangan, kayak kacang bogor.”

”Waktu saya seduhkan teh ini, teman saya yang dari Eropa bilang ada aroma chestnut. Di sini, saya tidak makan chestnut, jadi referensinya, ya, kacang bogor, ha-ha-ha,” ujarnya lagi.

Itulah teh bagi Ratna. Lidah dan pikiran diajak bertualang ke beragam rasa sesuai bumi tempat tumbuh dan memori pencicipnya.

Di luar gedung kantor, rinai hujan membentuk tirai. Ruang kerja Ratna yang dasarnya sudah dilengkapi penyejuk udara itu pun kian dingin. Namun, aliran teh hijau Korea yang menjalari tenggorokan menghangatkan akhir pertemuan itu.
(Indira Permanasari)



Sumber: Kompas Cetak
Editor :
Dini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar