Partai Politik Menjadi Pilar Praktik Korupsi
Minggu, 30 Desember 2012 | 09:26 WIB
KOMPAS/LUCKY PRANSISKA
Sindiran terhadap koruptor dituangkan masyarakat melalui mural di
kawasan Permata Hijau, Jakarta, Senin (24/12). Masyarakat kian sadar
dan terbuka melawan tindak pidana korupsi melalui berbagai cara.
TERKAIT:
- Hajriyanto: Pernyataan KPK Bikin "Rusak Susu Sebelanga"
- Catatan Kelam Pemberantasan Korupsi...
- Politisi Korup, Penumpang Gelap Demokrasi
- Partai Mesti Berbenah
- Ranking Parpol Korup Dipo Alam Dinilai Tidak "Fair"
JAKARTA, KOMPAS.com -
Partai politik tidak lagi menjadi pilar demokrasi, tetapi berubah
menjadi pilar korupsi. Mendekati Pemilihan Umum 2014, skala korupsi
diperkirakan semakin meningkat karena parpol membutuhkan biaya
kampanye.
”Parpol bukan lagi sebagai pilar demokrasi, tetapi
pilar korupsi,” kata Syamsuddin Haris, profesor riset Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI), di sela-sela diskusi ”Budaya Politik dan
Kelas Menengah” di Cikini, Jakarta, Sabtu (29/12/2012).
Parpol
disebut pilar korupsi karena banyak penyelenggara negara yang berasal
dari parpol terjerat kasus korupsi. Bukan hanya anggota DPR, melainkan
juga para menteri, gubernur, bupati/wali kota, dan anggota DPRD
menyelewengkan kewenangan untuk merampok uang negara.
Syamsuddin
menilai, keterlibatan parpol dalam korupsi akan sulit dicegah. Sebab,
umumnya parpol tidak memiliki sumber pendanaan yang jelas. Para kader
parpol yang menjabat sebagai penyelenggara negara dipaksa mencari sumber
dana, yang umumnya dari anggaran negara.
Ia memprediksi, skala
korupsi parpol akan meningkat menjelang Pemilu 2014. Pasalnya, parpol
membutuhkan dana besar untuk kampanye. Penggalangan dana dari anggaran
negara juga diyakini terjadi karena aturan mengenai pendanaan parpol
terlalu longgar. Tidak ada tuntutan bagi parpol agar lebih transparan
dalam pengelolaan dana.
Burhanuddin Muhtadi, pengajar Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah, mengusulkan perlunya undang-undang sistem keuangan parpol.
”Tidak ada reformasi parpol tanpa ada transparansi pengelolaan dana,”
katanya.
UU itu diusulkan memuat aturan main yang jelas dan tegas
mengenai pengelolaan dana parpol. Tidak hanya sumbangan atau bantuan
pemerintah untuk parpol, tetapi juga kejelasan sumber dana lainnya.
Biaya atau pengeluaran kampanye juga diatur jelas dalam UU tersebut.
Burhanuddin meyakini UU sistem pendanaan parpol dapat menekan korupsi
parpol. ”Selama ini aturannya remang-remang sehingga parpol rakus sekali
menggarong APBN,” ujarnya.
Selain UU sistem pendanaan parpol,
solusi lain yang ditawarkan Syamsuddin adalah memperkuat masyarakat
sipil. Seluruh kelompok masyarakat sipil perlu bekerja sama dan
berkonsolidasi untuk terus mengingatkan parpol agar tak melakukan
korupsi.
Namun, praktik korupsi politik setahun menjelang Pemilu
2014 ditengarai bakal berbeda dengan modus korupsi pada masa-masa
sebelumnya. Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center (IBC)
Arif Nur Alam, politisi pasti akan ekstra hati-hati jika hendak
melakukan korupsi mengingat langkah Komisi Pemberantasan Korupsi ataupun
kontrol yang makin kuat dari publik. Oleh karena itu, bisa jadi
praktik korupsi dilakukan dengan modus yang berbeda melalui kebijakan
anggaran yang diarahkan untuk wilayah atau daerah pemilihan tertentu,
terutama untuk APBN 2013.
Menurut Arif, mahalnya biaya politik
menjelang pemilu memang menjadikan terbukanya kemungkinan kompromi
pembahasan anggaran. Misalnya saja, dana bantuan sosial atau hibah yang
ada di kementerian diarahkan ke basis konstituen parpol atau calon
anggota legislatif tertentu.
Peneliti Indonesia Corruption Watch,
Apung Widadi, menuturkan, gejala political budget cycle di beberapa
negara Eropa dan juga Asia, menjelang pemilu, pemerintah akan
mengalokasikan anggaran-anggaran yang populis. Untuk politisi,
kecenderungannya agak kasar karena mereka butuh freshmoney untuk
kampanye. (NTA/DIK)
Editor :
Inggried Dwi Wedhaswary